Minggu, 09 November 2008

PEMBELAJARAN NILAI TEMPAT BILANGAN CACAH MENGACU PADA TEORI BRUNER DI KELAS RENDAH SEKOLAH DASAR

Di sekolah dasar (SD), pembelajaran nilai tempat bilangan cacah mulai dari kelas 1 catur wulan 2 sampai dengan kelas 6. Setiap siswa di setiap jenjang kelas SD diharapkan dapat memahami nilai tempat. Agar setiap siswa SD dapat memahami nilai tempat diperlukan kemampuan-kemampuan seperti berikut. (1) kemampuan menggunakan alat peraga konkret dan gambar-gambar untuk merepresentasikan bilangan 0 sampai dengan 9, (2) kemampuan menulis lambang bilangan untuk bilangan 0 sampai dengan 9, dan (3) kemampuan mengekspresikan suatu bilangan sebagai kombinasi penjumlahan, seperti 3+0, 2+1, 1+2, dan 0+3 untuk bilangan 3. Kemampuan-kemampuan ini penting sebagai dasar untuk memahami bahwa suatu bilangan seperti 12 dapat direpresentasikan sebagai 1 puluhan dan 2 satuan dan sebagai 10+2 (Kennedy & Tipps, 1994).

Dalam matematika, nilai tempat bilangan cacah perlu dipahami siswa terutama untuk menuliskan lambang bilangan yang lebih besar dari 9. Nilai tempat juga sangat berguna untuk penamaan, pembandingan, pembulatan bilangan, memahami algoritma penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan persentase. Riedesel, dkk. (1996) menegaskan bahwa kurangnya pemahaman prosedur seperti regrouping dalam penjumlahan dan pengurangan disebabkan oleh kurangnya pemahaman nilai tempat. Van de Walle (1994) menyimpulkan bahwa number sense dan pemahaman komputasi tidak dapat dikembangkan tanpa pemahaman yang kuat akan nilai tempat. Troutman & Lichtenberg 1991) menyarankan untuk segera mengecek kesulitan tentang nilai tempat bila siswa menunjukkan kelemahan dalam aritmetika.

Pemahaman materi nilai tempat sangat diperlukan, tetapi kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemahaman siswa SD akan materi ini belum seperti yang diharapkan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil asesmen keempat NAEP 1988 yang menyatakan bahwa kurang dari setengah siswa kelas 3 berhasil dalam tugas mengenai notasi nilai tempat bilangan di atas 10 dan pada asesmen itu juga ditemukan bahwa anak-anak Amerika Serikat banyak membuat kesalahan dalam algoritma penjumlahan dan pengurangan yang diduga berhubungan dengan pemahaman nilai tempat (Payne & Huinker, 1993:53-54). Hasil penelitian Kamii (Sinclair & Sinclair, 1986:59) menunjukkan bahwa siswa kelas 3 dan 4 tidak memahami bahwa angka 3 dan angka 4 pada lambang bilangan 34 mempunyai suatu relasi khusus pada totalitas numerik. Juga di Malang Jawa Timur siswa kelas 2 SD Negeri Sumbersari III mengalami kesulitan menentukan nilai tempat bilangan cacah sampai dengan 100 (Nurhakiki, 1999).

Dalam memahami nilai tempat, kesulitan yang dialami siswa menurut Troutman & Lichtenberg (1991) adalah dalam hal (1) mengasosiasikan model nilai tempat dengan lambang bilangan, (2) menggunakan nol bila menulis lambang bilangan, (3) menggunakan konsep regrouping untuk merepresentasikan lambang bilangan, (4) menamakan posisi nilai tempat dalam suatu lambang bilangan, (5) memberikan representasi nilai tempat tidak baku untuk suatu lambang bilangan. Kesulitan siswa dalam memahami nilai tempat bilangan dua angka meliputi tiga komponen utama yaitu kuantitas dan nama basis, nama bilangan, dan lambang bilangan berkaitan dengan nilai tempat (Payne & Huinker, 1993).
Berdasarkan pada pokok pikiran tersebut penulis mencoba memberikan suatu pembelajaran nilai tempat mengacu pada teori Bruner di kelas rendah SD yang diharapkan dapat membantu mengatasi kesulitan siswa tersebut. Pembelajaran tersebut menggunakan pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak (KSSA). Pendekatan ini sudah dicobakan untuk mengatasi kesulitan siswa dalam memahami konsep nilai tempat di kelas 2 SD (Teguh, 2002) dan untuk menanamkan konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang di kelas 3 SD (Surtini, 2000). Hasilnya cukup menggembirakan.
Pendekatan ini sesuai dengan tingkat berpikir anak yang meliputi empat tingkat berpikir yaitu berpikir pada tingkat konkret, semikonkret, semiabstrak dan abstrak Ruseffendi,1981). Bila pembelajaran matematika disesuaikan dengan tingkat berpikir siswa, diharapkan siswa akan memahami konsep nilai tempat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutawidjaja (1997) yang menyatakan bahwa penyajian matematika yang disusun sesuai dengan tingkat berpikir siswa, memungkinkan siswa SD memahami matematika yang bersifat abstrak, aksiomatis, simbolik, dan deduktif.

Modus Representasi Konsep-Konsep Matematika Menurut Teori Bruner
Dalam pembelajaran matematika, Bruner membagi modus representasi atau penyajian menjadi tiga modus, yaitu modus enaktif, modus ikonik, dan modus simbolik. Modus enaktif adalah modus di mana anak dalam belajarnya masih membutuhkan bantuan benda-benda konkret, misalnya untuk mengenalkan nilai tempat menggunakan blok basis sepuluh atau balok-balok satuan yang dikelompokkan sesuai dengan nilai tempat suatu angka pada suatu lambang bilangan.
Modus ikonik adalah modus di mana siswa dalam belajarnya telah melangkah satu langkah dari benda-benda konkret menuju bayangan mental secara realistik yaitu gambar-gambar benda, diagram dan atau informasi lisan yang didasarkan pada dunia nyata (Reys, dkk., 1998). Modus simbolik adalah modus di mana siswa dalam belajarnya sudah mulai menggunakan simbol-simbol atau bahasa, dari yang sederhana dikembangkan ke yang lebih luas.

Pendekatan dalam Pembelajaran Nilai Tempat yang Mengacu pada Teori Bruner: Konkret, Semikonkret, Semiabstrak, dan Abstrak

Pendekatan, menurut Ruseffendi (1980) ialah “jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana materi itu disajikan”. Pendekatan dapat berupa konsep atau prosedur yang digunakan dalam membahas suatu bahan pelajaran untuk mencapai tujuan belajar mengajar (Sudjana, 1986). Pembelajaran nilai tempat yang disajikan dalam tulisan ini menggunakan benda konkret blok basis sepuluh, gambar kubus satuan dan gambar batang puluhan, diagram atau tabel nilai tempat, dan lambang atau simbol bilangan.

Blok basis sepuluh yang digunakan adalah kubus-kubus satuan dan batang-batang puluhan. Penyajian dengan menggunakan benda kubus-kubus satuan dan batang-batang puluhan merupakan pendekatan konkret. Penyajian dengan menggunakan gambar kubus satuan dan gambar batang puluhan, merupakan pendekatan semikonkret. Penyajian dengan diagram atau tabel nilai tempat merupakan pendekatan semiabstrak dan penyajian dengan menggunakan lambang atau simbol bilangan, merupakan penyajian bentuk abstrak.
Penyajian dengan menggunakan kubus satuan dan batang puluhan bersesuaian dengan tahap enaktif dari Bruner. Penyajian dengan menggunakan gambar kubus satuan dan gambar batang puluhan serta dengan menggunakan diagram atau tabel nilai tempat bersesuaian dengan tahap ikonik dari Bruner. Dan penyajian dengan menggunakan lambang atau simbol bilangan sesuai dengan nilai tempatnya bersesuaian dengan tahap simbolik dari Bruner.
Penggunaan blok basis sepuluh, sebagai benda konkret, dimaksudkan untuk memberikan lingkungan belajar awal yang cocok untuk dapat mengkonstruksi pemahaman atau mengembangkan konsep nilai tempat dan juga mengembangkan pengetahuan konseptual nilai tempat serta untuk menghubungkan konsep nilai tempat dengan simbolisme.

Bila siswa telah dapat memanipulasi blok basis sepuluh dalam menentukan nilai tempat suatu lambang bilangan, dilanjutkan dengan penggunaan gambar blok basis sepuluh, dan tabel atau diagram nilai tempat, serta simbol bilangan sebagai suatu sistem. Agar terjadi belajar dengan pemahaman, maka jembatan dari representasi konkret ke representasi abstrak atau sebaliknya harus dilalui berulang-ulang.
Kennedy & Tipps (1994) menyatakan bahwa urutan penyajian menggunakan pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak sangat dianjurkan bagi siswa berkesulitan belajar. Rangkaian pembelajaran terpadu antara idea (yang ditampilkan dengan bahasa baik bahasa lisan maupun tulisan sebagai kata/frasa/kalimat), benda konkret, gambar benda, dan simbol gambar dan simbol dimaksudkan untuk mengupayakan penanaman konsep matematika (idea), dalam hal ini konsep nilai tempat, ke dalam skemata siswa (Hudojo, 1998).

Nilai Tempat Bilangan Cacah di Kelas Rendah SD
Untuk memahami nilai tempat bilangan cacah memerlukan pengertian sistem numerasi Hindu-Arab, konsep nilai tempat, menulis dan membaca lambang bilangan.

1. Sistem Numerasi Hindu-Arab
Menurut Negoro & Harahap (1983) “bilangan adalah suatu ide yang sifatnya abstrak”. Bilangan bukan simbol dan bukan pula lambang bilangan. Menurut Musser & Burger (1991) bilangan adalah suatu ide/gagasan, suatu abstraksi, yang merepresentasikan suatu kuantitas. Dan lambang bilangan dinyatakan sebagai simbol yang kita lihat, tulis, atau sentuh bila merepresentasikan bilangan. Jadi bilangan adalah ide yang bersifat abstrak dan merepresentasikan suatu kuantitas. Lambang bilangan adalah simbol yang merepresentasikan bilangan yang dapat kita tulis, lihat, dan sentuh.
Sistem pemberian nama bilangan disebut dengan sistem numerasi (Ruseffendi, 1984). Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam sistem numerasi yaitu (1) simbol-simbol pokok yang digunakan, dan (2) aturan menyatukan simbol-simbol pokok itu untuk menulis lambang bilangan.

Secara umum sistem numerasi yang banyak digunakan orang saat ini yang menggunakan sistem nilai tempat adalah sistem numerasi Hindu-Arab. Sistem numerasi Hindu-Arab ini juga disebut dengan sistem numerasi desimal (Ruseffendi, 1984). Dan menurut Troutman & Lichtenberg (1991) sistem numerasi Hindu-Arab ini mempunyai karakteristik: (1) Menggunakan sepuluh macam angka yaitu 0 sampai dengan 9; (2) Menggunakan sistem bilangan dasar sepuluh. Artinya setiap sepuluh satuan dikelompokkan menjadi satu puluhan, setiap sepuluh puluhan menjadi satu ratusan, dan seterusnya. Jadi pada lambang bilangan dasar sepuluh, tempat paling kanan adalah tempat satuan dengan nilai tempatnya satu, tempat sebelah kirinya tempat puluhan dengan nilai tempatnya sepuluh, dan seterusnya; (3) Menggunakan sistem nilai tempat. Contoh pada bilangan 16, nilai tempat angka 1 adalah sepuluh, berarti 1 puluhan dan nilai tempat angka 6 adalah satu, berarti 6 menunjukkan 6 satuan; (4) Menggunakan sistem penjumlahan dan perkalian. Contoh bilangan 15, bilangan ini dapat dituliskan sebagai (1 x 10) + (5 x 1).
Dengan sepuluh macam angka dan aturan-aturan mengombinasikannya menggunakan sistem bilangan dasar 10, maka akan dapat dituliskan nama-nama bilangan mana pun yang kita perlukan.

2. Konsep Nilai Tempat
Menurut Ashlock (1994) gagasan nilai tempat menyangkut pemberian suatu nilai kepada masing-masing tempat atau posisi dalam lambang bilangan multi-digit; yaitu masing-masing tempat dalam lambang bilangan tersebut bernilai perpangkatan sepuluh. Kramer (1970) menyatakan nilai posisi atau tempat dari suatu angka dalam suatu lambang bilangan tergantung pada tempat angka itu berada dalam lambang bilangan tersebut. Sehingga setiap angka dalam lambang bilangan desimal mempunyai nilai yang ditentukan oleh nilai angka itu sendiri dan nilai tempat angka itu (Negoro & Harahap, 1983). Sebagai contoh bilangan 15, angka 1 mempunyai nilai 1 puluhan, dan angka 5 mempunyai nilai 5 satuan. Nilai tempat 1 adalah sepuluh, nilai bilangannya 10, nilai tempat 5 adalah satu, nilai bilangannya 5 (Seputra & Amin, 1994).
Payne & Huinker (1993) menyatakan ada tiga komponen utama dari pemahaman nilai tempat bilangan dua angka yaitu kuantitas dan nama basis, nama bilangan, dan lambang bilangan berkaitan dengan nilai tempat. Menurut Payne & Rathmell ada tiga komponen pengetahuan nilai tempat yaitu model-model konseptual, representasi lisan, dan representasi simbolik. Pendapat Payne & Huinker serta Payne & Rathmell tersebut nampaknya ada kesamaan yaitu kuantitas dengan model konseptual, representasi lisan dengan nama bilangan dan nama basis, dan representasi simbolik dengan lambang bilangan berkaitan dengan nilai tempat.

3. Menulis dan Membaca Lambang Bilangan
Membilang dengan cara satu-satu merupakan cara yang meyakinkan bagi siswa untuk mengurutkan bilangan yang menyatakan banyak anggota suatu himpunan. Akibatnya, membilang merupakan komponen penting untuk memahami bilangan dua angka atau lebih. Oleh karena itu, program pembelajaran di kelas-kelas awal harus banyak memberikan perhatian pada membaca dan menulis lambang bilangan. Menulis dan membaca lambang bilangan dimulai setelah anak dapat mengenali lambang bilangan dan dapat menghubungkannya dengan banyaknya benda.
Pemahaman yang baik akan nilai tempat sangat membantu siswa dalam membaca dan menuliskan lambang-lambang bilangan terutama dalam tulisan ini yaitu bilangan-bilangan yang terdiri dari dua angka. Siswa perlu mengetahui prosedur membaca dan menulis lambang bilangan.


PEMBELAJARAN NILAI TEMPAT MENGACU PADA TEORI BRUNER DI KELAS KELAS RENDAH SD

Dalam tulisan ini digunakan alat peraga nilai tempat proporsional yaitu blok basis sepuluh. Blok basis sepuluh termasuk dalam kelompok model basis sepuluh yang telah terkelompok. Keuntungan dalam menggunakan model ini adalah sekali siswa telah mengenal bentuk kubus satuan sebagai 1 dan batang puluhan sebagai 10, maka siswa akan dapat membedakan bahwa semakin besar atau banyak blok basis sepuluh nilainya akan semakin besar. Hal ini senada dengan pendapat Fuson, 1988; Steffe & Cobb, 1988 (dalam Hiebert & Wearne, 1992) yang menyatakan pemahaman nilai tempat menyangkut menghubungkan antara ide dasar nilai tempat, seperti mengkuantifikasi himpunan objek dengan pengelompokan sepuluh dan memperlakukan kelompok tersebut sebagai satuan-satuan.

Pembelajaran nilai tempat yang mengacu pada teori Bruner dalam tulisan ini dilakukan dengan urutan penyajian bentuk konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak sebagai berikut. Adapun materi yang penulis sajikan dalam tulisan ini adalah materi nilai tempat untuk kelas 1 SD.
1. Bentuk Konkret
Dalam penyajian bentuk konkret, aktivitas-aktiviatas yang dilakukan adalah (a) Membilang kubus satuan; (b) Menyusun 10 kubus satuan menjadi satu rangkaian (puluhan); (c) Mengganti 10 kubus satuan (1 rangkaian) dengan 1 batang puluhan; (d) Membuat rangkaian sendiri dengan bilangan cacah 11-50; (e) Menunjukkan puluhan dan satuan dengan menggunakan alat peraga manipulatif.
2. Bentuk Semikonkret
Aktivitas yang dilakukan dalam penyajian bentuk semikonkret adalah (a) Membilang banyaknya gambar kubus satuan, (b) Memasangkan gambar dengan benda konkret sebagai alat peraga manipulatif untuk menunjukkan bilangan 11-50, (c) Menunjukkan puluhan dan satuan dengan menggunakan gambar alat peraga manipulatif.

3. Bentuk Semiabstrak
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam penyajian bentuk semiabstrak adalah membuat coretan pada kolom puluhan dan satuan dalam tabel nilai tempat sesuai dengan banyak puluhan dan satuan bilangan 11-50 dari gambar alat peraga manipulatif. Berikut ini contoh tabel nilai tempat dengan banyaknya coretan pada kolom puluhan dan kolom satuan.


Tabel Nilai Tempat Bilangan Cacah

Lambang bilangan Puluhan Satuan
11 | |
23 || |||
35 ||| |||||
46 |||| ||||||

4. Bentuk Abstrak
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam penyajian bentuk abstrak adalah (a) Menyebutkan nama bilangan cacah 11-50; (b) Menuliskan nama bilangan cacah 11-50; (c) Menentukan puluhan dan satuan dari suatu lambang bilangan; (d) Menuliskan bentuk panjang dari suatu lambang bilangan antara 11-50; (e) Merubah dari nama basis ke bentuk penjumlahan; (f) Menentukan nilai tempat suatu angka dari suatu bilangan antara 11-50; (g) Menentukan nilai angka dari suatu lambang bilangan antara 11-50


Contoh Pembelajaran Nilai Tempat yang Mengacu pada Teori Bruner di Kelas Rendah SD.

Untuk memberikan gambaran pembelajaran menggunakan teori Bruner dengan pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak dan abstrak. Berikut ini penulis disajikan suatu contoh pembelajaran nilai tempat yang mengacu pada teori Bruner. Pembelajaran ini adalah pembelajaran nilai tempat di kelas 1 SD dengan alat peraga batang puluhan, kubus satuan, gambar batang puluhan, gambar kubus satuan, dan tabel nilai tempat dengan metode ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi serta penugasan. Pembelajaran ini disusun dalam bentuk antara guru (G) dan siswa (S) adalah sebagai berikut.
Penyajian Bentuk Konkret
G: Memperkenalkan kubus-kubus satuan dan batang puluhan. Dengan menggunakan kubus-kubus satuan, tunjukkanlah bilangan 1, 2, 3, 4, 5,6,7, 8, 9, dan 10?
S: Melakukan kegiatan.
G: Guru mengamati cara siswa menunjukkan bilangan tersebut dengan kubus satuan dan memberi bantuan seperlunya. Kemudian meminta siswa untuk menuliskan lambang bilangan yang sudah ditunjukkan dengan kubus-kubus satuan tersebut di buku tulis dan di papan tulis.
S: Melakukan kegiatan
G: Sekarang perhatikan. Apabila ada 9 kubus satuan lalu kita tambah lagi dengan 1 kubus satuan, maka akan menjadi berapa kubus satuan, S?
S: Sepuluh
G: Ya, bagus. Sekarang coba kalian membilang 11 kubus satuan.
S: Membilang 11 kubus satuan
G: Memperhatikan aktivitas siswa. Bertanya pada S, selesai?
S: S menjawab. Selesai, Pak
G: Baiklah, coba kalian kelompokkan 10 kubus satuan, lalu tumpukkan menjadi 1 rangkaian (puluhan).
S: Melakukan aktivitas
G: Mengamati pekerjaan siswa. Bertanya pada S, seperti apa hasil kerjaanmu?
S: S menjawab: seperti ini, Pak
G: Ya, jempolan. Apabila 1 rangkaian telah terbentuk (terdiri dari 10 kubus satuan), apakah masih ada kubus satuan yang tersisa? Diam sejenak, S?
S: S menjawab: masih ada, yaitu 1 kubus satuan.
G: Pintar kamu, jadi ada 1 rangkaian (10 kubus satuan) dan 1 kubus satuan. Ambillah 1 batang puluha. Kemudian gantilah 10 kubus satuan (1 rangkaian) dengan 1 batang puluhan tadi.
S: Melakukan aktivitas, lalu menyatakan selesai.
G: Bagus sekali. Sekarang kalian lihat, ada 1 batang puluhan dan ada 1 kubus satuan. Untuk tugas kalian berikutnya. Buatlah rangkaian untuk bilangan 12, 13, 16, 21, 23, 34, 36, 46, dan 48 dengan menggunakan kubus-kubus satuan dan batang puluhan. Guru mengamati kerja siswa dan membantu siswa bila diperlukan.
S: Siswa melakukan aktivitas, lalu menyatakan selesai.
G: Guru bertanya pada siswa: “Siapa yang hasil kerjanya telah memiliki 1 batang puluhan dan 2 kubus satuan?” 1 batang puluhan dan 3 kubus satuan?
S: Saya, Pak.
Pertanyaan dilanjutkan untuk bilangan-bilangan lainnya

Penyajian Bentuk Semikonkret
G: Guru meminta siswa untuk memasangkan atau memadankan antara gambar batang puluhan dengan batang puluhan dan memadankan gambar kubus satuan dengan kubus satuan untuk bilangan-bilangan 11 dan 12.
S: Siswa melakukan aktivitas.
G: Mengamati aktivitas siswa dan memberikan bimbingan kepada siswa yang memerlukan. Guru bertanya: S selesai?
S: Ya, Pak.
G: Siapa di antara kalian yang telah membentuk pasangan 1 gambar batang puluhan dan 1 batang puluhan serta 1 gambar kubus satuan dan 1 kubus satuan? Guru diam sejenak, lalu berkata coba S?
S: Saya, Pak
G: Guru memegang dan memperagakan 1 gambar batang puluhan dan 1 batang puluhan serta 1 gambar kubus satuan dan 1 kubus satuan. Lalu bertanya: Siapa yang memiliki pasangan 1 gambar batang puluhan dan 1 batang puluhan serta 2 gambar kubus satuan dan 2 kubus satuan? Siapa yang dapat menyebutkan arti gambar ini? S?
S: S menjawab: Saya, Pak. Dua belas.
G: Bagus. Kalian sudah dapat memasangkan batang puluhan dengan gambar batang puluhan dan kubus satuan dengan gambar kubus satuan. Sekarang, pasangkan gambar batang puluhan dengan batang puluhan dan gambar kubus satuan dengan kubus satuan untuk bilangan-bilangan berikut: 13, 14, 25, 36, 37, dan 49?
S: Melakukan aktivitas.
G: Mengamati aktivitas siswa dan memberikan bantuan bagi yang memerlukan.

Penyajian Bentuk Semiabstrak
G: Sekarang ambil tabel nilai tempat. Perhatikan ada tulisan puluhan dan ada tulisan satuan. Sekarang buatlah coretan untuk banyak gambar batang puluhan dan gambar kubus satuan. Berapa banyak coretan untuk kolom puluhan bila ada 1 gambar batang puluhan? Berapa banyak coretan untuk kolom satuan bila ada 1 gambar kubus satuan?
S: Melakukan aktivitas.
G: Mengamati aktivitas siswa, sambil memberikan bimbingan kepada siswa yang membutuhkan. Untuk 1 gambar batang puluhan dan 1 gambar kubus satuan, berapa banyak coretan pada kolom puluhan dan berapa banyak coretan pada kolom satuan yang diperlukan?
S: Saya, Pak.
G: Guru menunjuk S, dan berkata sebutkan!
S: Banyak coretan untuk kolom puluhan ada 1 dan banyak coretan untuk kolom satuan 1
G: Lambang bilangan apa yang ditunjukkan oleh 1 coretan pada kolom puluhan dan 1 coretan pada kolom satuan?
S: Saya, Pak.
G: Menunjuk S, kemudian berkata, sebutkan!
S: Sebelas
Kegiatan dilanjutkan untuk bilangan lainnya antara 10—50.
G: Guru memberikan beberapa bilangan, lalu meminta siswa untuk membuat coretan pada kolom puluhan dan kolom satuan pada tabel nilai tempat.
S: Siswa melakukan aktivitas.
G: Meminta siswa untuk menyebutkan lambang bilangan yang ditunjukkan oleh banyak coretan dalam tabel nilai tempat sesuai dengan kolom-puluhan dan kolom satuan.
G: Memperhatikan siswa dalam menyebutkan bilangan-bilangan tersebut dan membantu siswa yang membutuhkan. Guru memberikan soal-soal latihan untuk bilangan-bilangan lainnya antara 10--50).
S: Mengerjakan soal-soal yang diberikan.
G: Mengamati dan memberikan bimbingan kepada siswa yang
membutuhkan.
Penyajian Bentuk Abstrak
G: Mengingatkan siswa bahwa 1 batang puluhan artinya 1 puluhan dan 1 kubus satuan artinya 1 satuan. 1 puluhan artinya 10 dan 1 satuan artinya 1. Sehingga 1 puluhan dan 1 satuan = 10 + 1. Apa artinya 1 puluhan dan 2 satuan? Diam sejenak, kemudian guru bertanya kepada S?
S: S menjawab 10 + 2.
G: Bagaimana, S. Jawaban temanmu itu. Benar atau salah?
S: S menjawab benar.
Pelajaran dilanjutkan untuk bilangan yang lain yang terletak antara 10 dan 50.
G: Bila diperhatikan tabel nilai tempat, angka 12, terdiri dari 1 puluhan dan 2 satuan. Angka 1 menempati tempat puluhan dan angka 2 menempati tempat satuan. Bagaimana dengan angka 14? S, angka 1 menempati tempat ….?
S: S menjawab angka 1 menempati tempat puluhan.
G: S, angka 4 menempati tempat ….?
S: S menjawab angka 4 menempati tempat satuan.
Tanya jawab dan peragaan dapat dilanjutkan untuk bilangan lainnya yang terletak antara 10 dan 50. Guru diharapkan menyimpulkan bahwa pada lambang bilangan 14 nilai angka 1 adalah 10 dan nilai angka 4 adalah 4. Dilanjutkan dengan tanya jawab untuk bilangan yang lainnya.

PENUTUP
Dalam mengajarkan nilai tempat bilangan cacah yang mengacu pada teori Bruner di kelas rendah SD menggunakan pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan mental siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran nilai tempat yang sesuai dengan tingkat perkembangan mental siswa adalah pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak. Pembelajaran bentuk konkret menggunakan alat peraga berupa lidi dan ikatan puluhan lidi, kubus-kubus satuan dan kubus batang puluhan. Pembelajaran bentuk semikonkret menggunakan gambar lidi dan gambar ikatan puluhan lidi, gambar-gambar kubus satuan dan batang puluhan. Pembelajaran bentuk semiabstrak menggunakan tabel nilai tempat berupa pemberian coretan pada kolom satuan dan kolom puluhan. Pembelajaran bentuk abstrak berbentuk bilangan dan tulisan. Alat peraga yang digunakan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa di kelas. Blok basis sepuluh atau lidi dapat diganti dengan sedotan, atau lainnya.

DAFTAR RUJUKAN

Ashlock, R. B. 1994. Error Patterns in Computation. (6th ed). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Hiebert, J. & Wearne, D. 1992. Links Between Teaching and Learning Place Value with Understanding in First Grade. Journal For Research in Mathematics Education. 23(2): 98-122.

Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi. Program Pascasarjana IKIP Malang, Malang 4 April.

Kennedy, L.M. & Tipps, S. 1994. Guiding Children’s Learning of Mathematics. (7th ed). Belmont, California: Wadswarth Publishing Company.

Kramer, K. 1970. Teaching Elementary School Mathematics. Boton, Mas.:Allyn and Bacon, Inc.

Musser, G.L. & Burger, W. F. 1991. Mathematics for Elementary Teachers: A Contemporary Approach. (2nd ed.). New York: Macmillan Publishing Company.

Negoro, S.T. & Harahap, B. 1983. Ensiklopedia Matematika. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurhakiki. R. 1999. Mengatasi Kesulitan Siswa Memahami Bilangan Cacah di Kelas II SDN Sumbersari 3 Kodya Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.

Payne, J. N. & Huinker, D. M. 1993. Early Number and Numeration; dalam Jensen, R.J. (Ed.), Reasearch Ideas for the Classroom: Early Childhood Mathematics. (hlm. 43—70). New York: National Council of Teachers of Mathematics Research Interpretation Project/Macmillan Publishing Company.

Riedesel, C.A., Schwartz, J.E., & Clements, D.H. 1996. Teaching Elementary School Mathematics. (6th ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Reys, R. E., Suydam, M. N., Lindquist, M. M., & Smith, N. L. 1998. Helping Children Learn Mathematics. (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Ruseffendi, E.T. 1980. Pengantar Pengajaran Matematika Modern untuk Orang tua, Murid, dan SPG. Seri 5. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. 1981. Pengantar Pengajaran Matematika Modern untuk Orang tua, Murid, dan SPG. Seri 1. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. 1984. Dasar-Dasar Matematika Modern dan Komputer Untuk Guru. Edisi keempat. Bandung: Tarsito.

Seputra, T. MHT & Amin, S. M. 1994. Matematika 1b: Mari Berhitung untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Cawu 2. Jakarta: Depdikbud-Balai Pustaka.

Sinclair, H. & Sinclair, A. 1986. Children’s Mastery of Written Numerals and the Construction of Basic Number Concepts. Dalam James Hiebert (Ed.), Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of Mathematics. Hilldale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Sudjana, W. 1986. Buku Materi Pokok Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Surtini, S. 2000. Pendekatan CSPA untuk Membantu Siswa Kelas III di SDN Mangunsari III Kotamadya Salatiga Memecahkan Masalah Perkalian Bilangan Cacah. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Sutawidjaja, A. 1997. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. MIPA: Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Pengajarannya, 26(2):175-187.

Teguh, 2002. Pendekatan CSPA Untuk Membantu Siswa Memahami Nilai Tempat Bilangan Cacah di Kelas 2 SDN Sumbersari IV Kota Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang

Troutman, A.P & Lichtenberg, B.K. 1991. Mathematics A Good Beginning: Strategies for Teaching Children. (4th ed.). Belmont, California: Wadsworth, Inc.

Van de Walle, J. A. 1991. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally.(2nd ed.). New York: Longman